https://pekalongan.times.co.id/
Opini

Ojol Bergerak, Dimana Negara?

Rabu, 21 Mei 2025 - 20:17
Ojol Bergerak, Dimana Negara? Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

TIMES PEKALONGAN, PEKALONGAN – Hari-hari belakangan ini, ruang publik kembali dipenuhi oleh denyut suara rakyat yang bergerak: para pengemudi ojek online (ojol) turun ke jalan. Bukan untuk mencari nafkah seperti biasa, melainkan untuk menyuarakan keresahan kolektif yang telah lama terpendam. 

Mereka menuntut keadilan tarif, transparansi algoritma, dan perlindungan hukum yang nyata. Bagi sebagian pihak, ini mungkin hanya sekadar kemacetan. Namun bagi mereka yang memahami denyut zaman, demo ojol adalah refleksi dari ketimpangan struktural dalam ekonomi digital yang makin menganga. 

Dalam hiruk-pikuk transformasi digital yang diagung-agungkan, para ojol justru terpinggirkan dari narasi kesejahteraan. Padahal, mereka adalah garda depan ekonomi on-demand-pekerja keras yang memastikan logistik, konsumsi, dan mobilitas masyarakat tetap bergerak di tengah krisis sekalipun. 

Negara tidak boleh abai. Ketika rakyat bergerak, apalagi dalam jumlah besar dan dalam bentuk solidaritas lintas kota, maka suara itu bukan lagi keluhan biasa. Itu adalah panggilan darurat untuk meninjau ulang sistem yang sedang kita bangun bersama: apakah ekonomi digital yang kita puja ini benar-benar memanusiakan, atau justru menyisakan penderitaan yang dibungkus dengan kata “kemajuan”?

Realitas kerja ojol hari ini berada dalam kerangka yang serba paradoks. Di satu sisi, mereka digadang-gadang sebagai bukti keberhasilan inklusi ekonomi digital. Di sisi lain, relasi kerja yang mereka jalani seringkali tidak berpihak pada keadilan. Status "mitra" yang disematkan oleh platform memberikan ruang bagi perusahaan untuk lepas dari kewajiban memberikan jaminan sosial, perlindungan tenaga kerja, atau sistem upah minimum. 

Dalam konstruksi hukum ketenagakerjaan konvensional, relasi semacam ini bisa dikategorikan sebagai kerja tidak layak. Namun karena celah regulasi dalam menyikapi gig economy, para ojol menjadi korban dari kekosongan perlindungan hukum. 

Mereka bekerja layaknya karyawan penuh waktu, namun tanpa hak dan fasilitas seorang pekerja. Ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan persoalan hak asasi dan keadilan sosial. Negara harus hadir sebagai penengah dan pelindung, bukan sebagai penonton yang hanya menghitung kontribusi sektor digital terhadap PDB. 

Ketika kontribusi ekonomi digital begitu dibanggakan, jangan lupakan siapa yang menjadi tenaga penggeraknya. Mereka bukan data statistik. Mereka adalah manusia, dengan keluarga, beban hidup, dan cita-cita akan masa depan yang lebih layak.

Perjuangan para ojol dalam demo yang kini semakin terstruktur dan masif merupakan simbol kebangkitan kelas pekerja baru. Mereka bukan buruh pabrik dalam arti konvensional, tapi mereka menghadapi tantangan yang tak kalah berat. 

Bedanya, tekanan yang mereka alami datang dari layar ponsel dan algoritma yang tak kasat mata. Sistem penilaian berbasis rating pelanggan, algoritma pengalokasian order, serta insentif yang terus berubah-ubah menciptakan ketidakpastian kronis. 

Mereka tidak hanya bekerja keras secara fisik di jalan, tetapi juga harus terus-menerus "bermain" dengan sistem yang kadang terasa tidak adil. Ini adalah bentuk baru dari alienasi kerja, di mana produktivitas diukur oleh kode-kode sistem yang hanya dimengerti perusahaan. 

Ketika order sepi, mereka disalahkan. Ketika pendapatan menurun, mereka diminta bersabar. Ini adalah jebakan kerja modern: fleksibilitas yang ternyata membawa kerentanan. 

Dalam situasi seperti ini, negara perlu memimpin dalam menetapkan etika baru bagi bisnis digital. Etika yang menjamin bahwa teknologi bukan menjadi alat dominasi, tetapi justru menjadi ruang untuk pemberdayaan manusia secara bermartabat.

Banyak yang menilai bahwa dinamika ekonomi digital terlalu cepat untuk dikejar oleh kebijakan publik. Namun argumen ini tidak bisa terus-menerus digunakan sebagai alasan untuk membiarkan kekosongan hukum. 

Justru di tengah laju perubahan yang pesat, negara harus menjadi garda depan dalam menetapkan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dalam ranah digital. Perlindungan terhadap pekerja ojol harus menjadi prioritas legislasi, bukan hanya wacana. 

Pemerintah perlu segera menyusun regulasi khusus bagi pekerja ekonomi digital, termasuk hak atas jaminan sosial, jam kerja manusiawi, dan skema tarif yang adil. Tidak bisa lagi negara menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada platform. Ekonomi berbasis aplikasi memerlukan regulasi berbasis etika dan hak pekerja. 

Jika negara terlambat, maka bukan hanya para ojol yang akan menderita, tapi juga struktur sosial kita akan mengalami distorsi jangka panjang. Karena saat keadilan dibiarkan timpang dalam satu sektor, maka ketimpangan itu cepat atau lambat akan menjalar ke sektor lainnya.

Pemerintah juga tidak bisa berdalih bahwa kontribusi sektor platform telah menciptakan lapangan kerja besar dan mengurangi pengangguran. Ukuran kualitas lapangan kerja tidak hanya terletak pada kuantitasnya, tetapi juga pada keberlangsungan dan perlindungan pekerjanya. 

Lapangan kerja tanpa jaminan sosial hanyalah solusi semu atas masalah pengangguran. Ia menciptakan angka, tetapi menyembunyikan penderitaan. Justru inilah saatnya pemerintah menunjukkan visi jangka panjang: bagaimana merancang ekonomi digital yang adil dan inklusif. 

Alih-alih sekadar menjadi fasilitator industri, negara harus menjadi penjaga nilai. Jika tidak, maka digitalisasi hanya akan memperkuat ketimpangan sosial dan memperdalam jurang antara pemilik modal dan pekerja. Ini bukan sekadar masalah ojol, ini adalah cermin masa depan dunia kerja kita.

Masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi buruh pun memiliki peran strategis untuk memperkuat gerakan ini. Kesadaran bahwa perjuangan ojol adalah perjuangan seluruh rakyat pekerja harus dibangun. Narasi bahwa mereka hanyalah “pengemudi biasa” harus dilawan dengan narasi tandingan bahwa mereka adalah simbol perlawanan atas eksklusi sistemik. 

Literasi digital dan ekonomi harus diperluas, agar masyarakat tidak hanya menjadi pengguna jasa, tetapi juga memahami ekosistem ketenagakerjaan yang membentuk layanan tersebut. Ini juga menjadi panggilan bagi kampus dan lembaga riset untuk lebih aktif mengadvokasi hak-hak pekerja digital dan mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menyusun kebijakan berbasis data, etika, dan keberpihakan.

Saat para ojol bergerak turun ke jalan, mereka tidak hanya membawa spanduk dan tuntutan. Mereka membawa cerita tentang sistem yang timpang, algoritma yang tidak adil, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. 

Kita sebagai masyarakat harus bersikap empatik dan kritis. Jangan biarkan isu ini meredup begitu saja setelah liputan media berhenti. Apa yang mereka suarakan adalah refleksi dari sistem ekonomi yang sedang kita bangun bersama. 

Dukungan masyarakat akan memperkuat legitimasi gerakan dan mendorong pemerintah serta perusahaan untuk melakukan evaluasi serius. Ini bukan soal setuju atau tidak setuju pada demo, ini tentang memanusiakan pekerja. Ini tentang menempatkan keadilan sebagai poros utama dari semua inovasi yang kita banggakan.

Perusahaan aplikasi juga harus belajar untuk tidak semata-mata bersandar pada jargon inovasi. Inovasi yang tidak berpijak pada etika dan keberlanjutan sosial akan runtuh di tengah jalan. Tidak cukup hanya memperluas pasar dan memperkaya fitur aplikasi. 

Sudah saatnya perusahaan platform menunjukkan tanggung jawab sosial yang nyata. Bukan dalam bentuk CSR seremonial, tetapi dengan membuka ruang dialog yang sejajar, transparan, dan berkeadilan dengan para pekerja mereka. 

Model bisnis berbasis eksploitasi tidak akan berumur panjang. Dunia bergerak menuju ekonomi yang lebih manusiawi—dan perusahaan yang tidak ikut berubah akan ditinggalkan oleh sejarah.

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor dalam menciptakan model ekosistem digital yang adil di kawasan Asia Tenggara. Dengan populasi besar, pengguna internet yang aktif, dan komunitas pekerja gig yang dinamis, Indonesia bisa merumuskan model perlindungan pekerja digital yang berimbang antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. 

Namun itu hanya bisa tercapai jika negara berani membuat keputusan sulit, yakni tidak tunduk pada tekanan modal besar, melainkan berpihak pada konstitusi dan cita-cita keadilan sosial. Model perlindungan seperti yang dilakukan di Spanyol, Inggris, dan sebagian negara Eropa bisa dijadikan referensi. 

Bukan untuk disalin mentah, tapi untuk diadaptasi secara kontekstual. Dunia sedang mencari arah baru dalam hubungan kerja digital. Indonesia harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pasar pasif.

Gerakan ojol adalah babak baru dalam sejarah perburuhan digital di Indonesia. Mereka telah menunjukkan bahwa solidaritas masih mungkin, bahkan di tengah individualisme algoritmik. Ini momentum yang tidak boleh disia-siakan. 

Jika gerakan ini berhasil mendorong perubahan, maka ia akan menjadi preseden positif bagi sektor digital lainnya dari kurir hingga content creator, dari freelance hingga pekerja remote. Karena pada akhirnya, keadilan tidak bisa dibiarkan datang dari pasar. Ia harus diperjuangkan. Dan saat para ojol turun ke jalan, mereka sedang memperjuangkan masa depan yang lebih adil untuk kita semua.

Ojol bergerak. Negara harus tanggap. Inilah waktunya untuk membangun ekosistem digital yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga adil secara sosial. Inilah panggilan bagi negara untuk kembali ke jati dirinya: pelindung rakyat, pengatur pasar, dan penjamin keadilan. 

Keadilan sosial bukanlah cita-cita usang. Ia adalah arah. Dan para ojol telah menunjukkan jalannya melalui keberanian, solidaritas, dan kerja keras. Kini giliran kita, sebagai warga negara, untuk memastikan bahwa gerakan ini tidak berakhir sebagai catatan kaki sejarah, tetapi menjadi fondasi dari masa depan yang lebih setara.

***

*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_______

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pekalongan just now

Welcome to TIMES Pekalongan

TIMES Pekalongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.