https://pekalongan.times.co.id/
Opini

Krisis Kepercayaan dan Jalan Baru Perbaikan di Indonesia

Rabu, 03 September 2025 - 09:31
Krisis Kepercayaan dan Jalan Baru Perbaikan di Indonesia Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

TIMES PEKALONGAN, PEKALONGAN – Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia sejak akhir Agustus 2025 memang mencatatkan luka, namun juga memberi kesempatan emas bagi bangsa ini untuk menata ulang arah demokrasi.

Pemicunya adalah tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan yang memantik kemarahan publik, namun di balik itu muncul kesadaran bersama bahwa rakyat tidak lagi bisa diam ketika keadilan terganggu.

Seperti dicatat Reuters (3 September 2025), peristiwa ini memperlihatkan adanya energi moral baru yang jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi tonggak perbaikan politik nasional.

Pembakaran gedung DPR di Makassar dan daerah lain memang menyedihkan, tetapi bisa dibaca sebagai peringatan agar wakil rakyat lebih peka. The Guardian (2 September 2025) menyoroti bahwa akar kemarahan publik berasal dari ketidakmerataan ekonomi.

Justru dari sini kita belajar, bahwa solusi untuk mengatasi jurang sosial adalah dengan memperkuat lembaga legislatif sebagai ruang representasi sejati. Jika DPR mampu merespons dengan transparansi dan kebijakan prorakyat, maka kebakaran ini tidak hanya menjadi kisah kehancuran, melainkan awal kebangkitan kepercayaan baru.

Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tentu menyayat hati. Namun, dari kisah pilu itu lahir solidaritas luar biasa. Seperti dilaporkan Time (1 September 2025), Affan kini menjadi simbol perjuangan rakyat kecil.

Positifnya, semakin banyak komunitas, LSM, dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak untuk memperjuangkan hak pekerja informal dan menuntut perlindungan sosial lebih baik. Artinya, duka tidak berakhir pada keputusasaan, melainkan bisa diubah menjadi dorongan reformasi kebijakan ketenagakerjaan.

Respon pemerintah memang menuai kritik, tetapi juga menunjukkan adanya ruang koreksi. Presiden Prabowo Subianto memerintahkan investigasi atas penggunaan kekuatan aparat dan menunda beberapa agenda luar negeri untuk fokus pada masalah dalam negeri.

Al Jazeera (2 September 2025) melaporkan bahwa langkah ini membuka peluang evaluasi besar terhadap cara negara menangani aksi massa. Jika investigasi dilakukan secara transparan, maka ini bisa menjadi preseden baik bagi reformasi aparat keamanan dan perbaikan pola komunikasi politik pemerintah.

Fenomena “17+8 Demands” yang viral di media sosial justru menghadirkan optimisme baru. Menurut Wikipedia (2025), 25 tuntutan ini berisi hal-hal fundamental seperti reformasi legislatif, keadilan ekonomi, dan penguatan HAM.

Positifnya, rakyat kini tidak hanya mengeluh, tetapi menyusun agenda konstruktif untuk perbaikan sistemik. Ini momentum berharga: pemerintah dan DPR bisa memanfaatkan daftar tuntutan itu sebagai bahan awal dialog kebijakan, sehingga gerakan rakyat bertransformasi menjadi masukan nyata bagi reformasi institusional.

Kerusakan akibat kerusuhan memang besar, dengan delapan orang tewas dan kerugian miliaran rupiah menurut Financial Times (2 September 2025). Namun di balik kerusakan itu, ada peluang rekonsiliasi nasional. Masyarakat mulai menyadari bahwa kekerasan hanya melahirkan luka, sementara dialog dan kerja sama bisa menyembuhkan.

Banyak organisasi masyarakat, tokoh agama, dan komunitas lokal mulai turun tangan mengajak damai. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tetap punya daya resilien yang kuat: mampu bangkit dari krisis dengan semangat gotong royong.

Krisis ini menyingkap akar masalah, mulai dari kesenjangan ekonomi hingga lemahnya pengawasan politik, seperti dicatat Wall Street Journal (1 September 2025). Namun positifnya, diagnosis ini justru memperjelas arah solusi.

Pemerintah dapat memperkuat lembaga pengawasan, membatasi privilese elit, dan mempercepat reformasi kesejahteraan. Dengan adanya tekanan publik yang besar, momentum untuk mendorong perubahan kebijakan semakin kuat. Jika langkah ini dijalankan, maka krisis bisa menjadi batu loncatan untuk reformasi mendalam.

Di sisi masyarakat sipil, munculnya gerakan baru menjadi harapan segar. AP News (1 September 2025) menyoroti bahwa generasi muda mengambil peran sentral dalam menyuarakan aspirasi. Positifnya, mereka lebih kreatif, adaptif dengan teknologi, dan berani menyampaikan kritik secara terbuka.

Media sosial menjelma sebagai ruang demokratisasi baru yang menyatukan rakyat lintas kelas dan daerah. Dengan mengarahkan energi ini pada dialog konstruktif, Indonesia bisa melahirkan generasi reformis yang siap membawa politik ke arah lebih sehat.

Gerakan rakyat juga semakin matang. Alih-alih hanya memprotes, kini banyak demonstran menuntut transparansi anggaran, pembatasan fasilitas elit, dan kebijakan prorakyat. Ini adalah tuntutan rasional, bukan emosional.

Pemerintah bisa menanggapinya dengan program nyata, seperti memperkuat akuntabilitas anggaran atau membuka kanal partisipasi publik dalam legislasi. Jika ini dilakukan, maka demonstrasi akan dikenang sebagai pintu masuk lahirnya era baru keterbukaan dan akuntabilitas.

Kekerasan yang sempat terjadi memang mencederai gerakan, tetapi memberi pelajaran penting: perubahan sejati lahir dari kedewasaan. Banyak tokoh sipil dan pemuda kini menyerukan disiplin moral agar protes tidak jatuh pada anarki.

Positifnya, kesadaran kolektif bahwa perjuangan harus bermartabat semakin menguat. Ini membuka jalan agar energi perlawanan bisa bertransformasi menjadi gerakan politik damai yang lebih berpengaruh dalam jangka panjang.

Pemerintah dan DPR pun punya peluang emas untuk memperbaiki diri. Alih-alih menuding massa sebagai anarkis, mereka bisa menjadikan kritik ini sebagai cermin. Jika DPR berani memangkas privilese dan membuka data anggaran, maka publik akan melihat keseriusan reformasi.

Langkah simbolis seperti ini bisa menjadi titik awal untuk memulihkan kepercayaan. Positifnya, tekanan publik membuat reformasi yang dulunya lambat kini punya dorongan lebih kuat untuk segera diwujudkan.

Kebakaran di DPR adalah peringatan keras, tetapi juga peluang emas. Dari abu gedung yang terbakar, kita bisa membangun ulang kepercayaan, menata ulang politik, dan memperkuat solidaritas nasional. Indonesia pernah membuktikan bahwa dari krisis bisa lahir reformasi besar, seperti tahun 1998.

Kini, saatnya membuktikan kembali bahwa bangsa ini mampu bangkit lebih adil, lebih bersih, dan lebih manusiawi. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan benar, maka sejarah akan mencatat kebakaran DPR bukan hanya sebagai tragedi, melainkan sebagai awal era baru perbaikan Indonesia.

***

*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pekalongan just now

Welcome to TIMES Pekalongan

TIMES Pekalongan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.