TIMES PEKALONGAN, PEKALONGAN – Tahun Baru Islam yang jatuh pada 1 Muharram 1447 H tepatnya tahun 2025 jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025 tidak sekadar momentum seremonial umat Islam, melainkan penanda historis transformasi nilai dan sistem sosial. Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan geografis, tetapi juga revolusi peradaban.
Di Madinah, Rasulullah mendirikan institusi negara pertama yang dibangun di atas prinsip syariah: keadilan, amanah, dan musyawarah. Nilai-nilai inilah yang sepatutnya kita refleksikan ulang dalam konteks modern, termasuk dalam tata kelola negara dan pengelolaan keuangan publik.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan serius dalam membangun sistem keuangan negara yang berintegritas dan adil. Maka, 1 Muharram seharusnya menjadi titik refleksi nasional: apakah pengelolaan keuangan negara kita telah meneladani prinsip-prinsip hijrah tersebut?
Sudahkah anggaran negara dikelola sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan spiritual kepada rakyat dan Tuhan?
Indonesia saat ini masih berada dalam bayang-bayang rendahnya persepsi integritas sektor publik. Laporan Transparency International tahun 2024 menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya mencapai skor 37 dari 100, menempatkan kita di peringkat ke-104 dari 180 negara. Ini bukan hanya angka statistik, tetapi cerminan krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga publik.
Kasus-kasus korupsi di tingkat kementerian, proyek infrastruktur, hingga dana bansos menjadi ironi ketika negara sedang giat mendorong efisiensi anggaran dan pelayanan publik. Masalahnya tidak hanya terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi juga absennya nilai spiritual dan etika dalam penyusunan serta pelaksanaan anggaran.
Di sinilah akuntansi sektor publik syariah hadir sebagai alternatif moral dan sistemik-yakni sistem yang tidak hanya fokus pada legalitas administratif, melainkan juga mengedepankan aspek pertanggungjawaban ilahiyah, maqashid syariah, dan keadilan sosial sebagai elemen utama akuntabilitas keuangan negara.
Akuntansi sektor publik syariah berbeda dengan akuntansi konvensional bukan hanya dari segi istilah, tetapi juga dalam paradigma dasar. Sistem ini menempatkan amanah sebagai prinsip utama: bahwa dana publik bukan milik negara atau pejabat publik, melainkan titipan dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Konsep ini selaras dengan prinsip akuntabilitas vertikal dan horizontal dalam Islam. Dalam QS Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan pencatatan transaksi secara jelas dan adil, sebagai bentuk transparansi dan tanggung jawab. Dalam konteks tata kelola negara, akuntansi publik syariah bukan hanya memuat laporan keuangan yang wajar, tetapi juga laporan dampak sosial, distribusi keadilan, dan keterlibatan umat.
Maka, ketika negara menyusun APBN/APBD, harus dipastikan bahwa peruntukannya tidak bertentangan dengan prinsip maslahat dan keadilan. Transparansi bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut amanah dan akhlak pemangku kebijakan publik.
Dalam kerangka akuntansi syariah, konsep hisab atau pertanggungjawaban akhirat memiliki nilai yang sama pentingnya dengan audit eksternal oleh lembaga seperti BPK. Pelaporan keuangan bukan semata-mata dokumen administratif, tetapi juga cermin moralitas dan integritas pengelolanya.
Maka dari itu, paradigma akuntabilitas publik harus diperluas: dari sekadar memenuhi standar akuntansi pemerintahan (SAP) menuju sistem yang menekankan pertanggung jawaban sosial dan spiritual.
Kualitas pengelolaan anggaran tidak lagi diukur dari capaian serapan atau pencapaian target output, melainkan juga pada seberapa besar manfaat anggaran tersebut dirasakan masyarakat. Misalnya, pengeluaran untuk subsidi pendidikan atau kesehatan perlu dilihat dari peningkatan kualitas hidup warga, bukan hanya angka nominalnya.
Dengan prinsip syariah, setiap rupiah yang dibelanjakan negara seharusnya menjadi alat distribusi keadilan dan kebaikan. Oleh karena itu, birokrasi yang Islami bukanlah yang berlabel syariah semata, tetapi yang menjadikan hisab sebagai mekanisme internal akuntabilitas.
Momentum 1 Muharram dapat dimaknai sebagai panggilan untuk melakukan hijrah fiskal, yaitu pergeseran sistem keuangan publik dari orientasi administratif menuju orientasi spiritual dan maslahat. Hijrah fiskal bukan berarti meninggalkan sistem yang telah ada, tetapi menyempurnakannya dengan nilai-nilai keislaman yang menjunjung tinggi kejujuran, transparansi, dan keadilan.
Dalam konteks ini, pertanyaan penting yang harus dijawab dalam setiap penganggaran adalah: Apakah anggaran ini benar-benar menjawab kebutuhan rakyat? Apakah distribusinya adil antar wilayah dan golongan? Apakah tidak menimbulkan kemudharatan lebih besar?
Sayangnya, hingga kini masih banyak alokasi anggaran yang tidak proporsional, tumpang tindih, bahkan tidak berdampak nyata bagi masyarakat. Oleh karena itu, hijrah fiskal membutuhkan pembenahan sistem penganggaran secara menyeluruh, termasuk dengan menyusun indikator keberhasilan anggaran berbasis maqashid syariah, seperti perlindungan jiwa, akal, dan harta rakyat.
Salah satu kontribusi penting akuntansi sektor publik syariah adalah integrasi prinsip maqashid syariah ke dalam pengelolaan anggaran. Maqashid syariah menekankan lima aspek utama: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kelima prinsip ini dapat menjadi indikator keberhasilan kebijakan fiskal dan penyusunan anggaran publik. Misalnya, anggaran pendidikan dan kesehatan bukan sekadar program wajib, tetapi bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat untuk menjaga akal dan jiwa.
Jika alokasi anggaran justru lebih banyak terserap untuk belanja birokrasi, bukan pembangunan manusia, maka hal ini menandakan kegagalan negara dalam memenuhi maqashid. Dengan pendekatan ini, penyusunan APBN/APBD bukan sekadar proses teknokratik, tetapi bagian dari ibadah sosial yang harus memenuhi prinsip maslahah ammah.
Artinya, negara tidak cukup hanya menghindari pemborosan, tetapi juga harus memastikan anggaran membawa kebaikan nyata bagi umat. Itulah semangat keuangan publik dalam bingkai syariah.
Saat ini, pelaporan keuangan sektor publik masih terlalu fokus pada kepatuhan terhadap peraturan dan efisiensi administratif. Meski hal ini penting, pendekatan tersebut tidak cukup menjawab kebutuhan akan transparansi yang lebih bermakna dan berdampak sosial.
Akuntansi sektor publik syariah menawarkan pendekatan alternatif dengan memperluas konsep laporan keuangan menjadi instrumen pertanggungjawaban sosial dan spiritual. Selain menyajikan Laporan Realisasi Anggaran atau Neraca, seharusnya ada pelaporan tentang keberhasilan program dari sisi etika dan distribusi manfaat.
Misalnya, bagaimana dampak anggaran terhadap pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan penguatan ekonomi rakyat. Ini sejalan dengan tren global seperti Sustainable Development Goals (SDGs) dan Integrated Reporting Framework (IIRC) yang menekankan pelaporan berdampak dan berkelanjutan. Maka, akuntansi syariah publik bukanlah sistem tertutup, tetapi terbuka terhadap inovasi global yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan, selama tetap dalam koridor syariah.
Langkah konkret menuju sistem akuntansi publik berbasis syariah adalah penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Syariah (SAPS). Saat ini, standar yang digunakan pemerintah Indonesia adalah SAP berbasis akrual, yang meskipun modern, belum sepenuhnya mengakomodasi nilai-nilai syariah.
Beberapa akademisi seperti Mardiasmo dan Syukriy Abdullah (2022) telah mengusulkan model pelaporan keuangan sektor publik yang memasukkan dimensi maqashid syariah ke dalam indikator keberhasilan anggaran. Selain itu, perlu penguatan aspek partisipatif masyarakat dalam pengawasan anggaran, agar akuntabilitas tidak berhenti di lembaga formal seperti BPK, tetapi juga mengakar di tingkat komunitas.
Dengan demikian, SAPS bukan sekadar dokumen teknis, melainkan bagian dari arsitektur keuangan negara yang lebih adil, inklusif, dan spiritual. Untuk itu, dukungan politik dan keberanian institusi sangat dibutuhkan agar konsep ini tidak berhenti sebagai wacana akademik, melainkan terimplementasi dalam siklus anggaran yang nyata dan berdampak.
Salah satu kekayaan Islam yang dapat diintegrasikan dalam sistem keuangan publik adalah pengelolaan zakat, infak, dan wakaf (ZIWAF). Potensi zakat nasional menurut BAZNAS mencapai Rp327 triliun per tahun, namun baru sekitar Rp30 triliun yang berhasil dihimpun (BAZNAS, 2023).
Padahal, jika dikelola secara sinergis dengan APBN/APBD, dana sosial Islam ini dapat menjadi instrumen pelengkap pembiayaan pembangunan, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan kemiskinan.
Sayangnya, pengelolaan ZISWAF masih berjalan secara sektoral dan belum terintegrasi ke dalam sistem fiskal nasional. Akuntansi syariah sektor publik memungkinkan adanya pelaporan bersama yang tidak hanya efisien, tetapi juga transparan dan terpercaya.
Jika negara mampu mendorong akuntabilitas dana zakat melalui integrasi sistem, maka ini akan memperkuat legitimasi fiskal, memperluas basis keadilan sosial, serta memperkuat rasa keimanan masyarakat bahwa pajak dan zakat keduanya kembali untuk kesejahteraan umat.
Dalam era digital, teknologi menawarkan peluang besar untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi keuangan publik syariah. Salah satu inovasi yang potensial adalah pemanfaatan blockchain syariah dalam pencatatan dan pelaporan transaksi keuangan negara.
Blockchain menjamin data tidak dapat dimanipulasi, transparan, dan dapat diaudit secara real-time. Beberapa negara seperti Uni Emirat Arab telah mengujicoba sistem ini untuk pengelolaan dana wakaf dan distribusi bantuan sosial.
Indonesia dengan ekosistem digital yang berkembang pesat memiliki potensi untuk mengembangkan sistem pelaporan anggaran syariah berbasis teknologi ini. Implementasi blockchain syariah tidak hanya mendukung akuntabilitas, tetapi juga meningkatkan efisiensi, mempercepat diseminasi data, dan mengurangi celah kecurangan.
Ini sejalan dengan program Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang dicanangkan pemerintah. Integrasi blockchain dan akuntansi publik syariah bisa menjadi terobosan besar dalam membangun tata kelola fiskal yang modern, terpercaya, dan sesuai dengan nilai Islam.
Momentum 1 Muharram perlu dimanfaatkan sebagai gerakan moral untuk memperbaiki budaya birokrasi dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam banyak kasus, birokrasi cenderung terjebak pada rutinitas laporan dan formalitas audit tanpa menyentuh esensi tanggung jawab sosial.
Padahal, dalam Islam, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang diembannya, sebagaimana hadis Nabi: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, transformasi akuntabilitas publik harus dimulai dari perubahan cara berpikir ASN dan pejabat publik. Mereka harus menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya menjalankan peraturan, tetapi juga menjaga amanah publik.
Pendidikan dan pelatihan tentang nilai-nilai akuntansi syariah perlu diperkuat dalam kurikulum ASN dan program reformasi birokrasi. Dengan begitu, 1 Muharram menjadi momentum hijrah mental dan spiritual dalam melayani rakyat secara adil, jujur, dan amanah.
Indonesia telah memiliki kerangka hukum dan institusi pengawasan keuangan publik seperti UU Keuangan Negara, BPK, KPK, dan APIP. Namun, tanpa internalisasi nilai spiritual dan moralitas, semua sistem ini berisiko menjadi formalitas belaka.
Sejarah Islam mengajarkan bahwa kekuatan pengawasan sejati bukan berasal dari sistem semata, tetapi dari ketakwaan individu. Maka, penting untuk menumbuhkan akuntabilitas berbasis nilai, bukan hanya regulasi.
Program ASN Berakhlak yang diusung pemerintah dapat menjadi pintu masuk, tetapi perlu diperkuat dengan dimensi religius yang lebih substansial. Setiap birokrat harus merasa diawasi, tidak hanya oleh atasan atau lembaga audit, tetapi oleh Allah SWT.
Di sinilah letak kekuatan sistem akuntansi syariah: bukan hanya mencatat transaksi, tetapi membentuk karakter. Oleh sebab itu, pembangunan sistem keuangan negara yang bersih dan beradab tidak akan berhasil jika tidak diiringi dengan reformasi spiritual para pelakunya.
1 Muharram memberi pesan mendalam bahwa hijrah bukan hanya tentang berpindah tempat, tetapi tentang transformasi nilai dan arah hidup. Dalam konteks keuangan publik, hijrah berarti berpindah dari sistem yang mengejar kepatuhan semu menjadi sistem yang membangun kemaslahatan sejati.
Akuntansi sektor publik syariah memberikan arah baru untuk menciptakan neraca peradaban di mana pengelolaan anggaran negara tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomi, tetapi juga memberdayakan, adil, dan bernilai akhirat.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus bersinergi mendorong implementasi sistem ini sebagai wujud tanggung jawab kolektif membangun Indonesia yang berintegritas dan bermartabat.
Tahun Baru Islam bukan sekadar angka di kalender, melainkan panggilan untuk hijrah dari kelalaian menuju kesadaran, dari sekadar administrasi menuju akuntabilitas ruhani.
Maka, mari kita jadikan 1 Muharram sebagai tonggak menuju reformasi keuangan negara dalam bingkai syariah demi Indonesia yang lebih adil, bersih, dan penuh berkah.
***
*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
___________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |